Wednesday, March 7, 2012

3 tahun mengenang . . .

Tanggal 3, bulan 3, 3 tahun yang lalu...
Ketika semua rasa di hati ini hancur berkeping-keping. Putus cinta? Bukan, ternyata putus cinta tidaklah lebih menyakitkan daripada harus merelakan Papa menghadap Allah SWT lebih dulu. Dan tidak akan pernah kembali.
Tepat bulan ini, 3 tahun yang lalu. Memori itu tidak akan lekang dari ingatan saya. Ketika satu hari sebelum kepergiannya, kondisi kesehatan Papa memang sudah mulai ’Drop’ (bahkan sejak beberapa bulan sebelumnya), tapi pada saat itu saya masih harus berjuang untuk bekerja demi mengubah status ’karyawan kontrak’ pada perjanjian kerja saya 2 tahun sebelumnya. Sehingga saya masih belum bisa ’cuti’ dan menemani Mama menjaga Papa. Saat itu saya berada di depan para peserta psikotest untuk calon Legal Manager , dimana para peserta tsb tidaklah lebih muda dari saya –baik dari segi usia maupun pengalaman- dan persis dikursi paling belakang duduklah bos besar saya untuk menilai kinerja saya saat itu. Campur aduk!!!itulah yang saya rasakan. Pikiran saya tidak fokus, antara pekerjaan dan rumah. Dan benar saja, ditengah jalannya test, Mama menelepon, dan mengabarkan bahwa Papa harus dirawat di RS karena sudah sulit bernafas. Keinginan untuk pulang dan meninggalkan semua tugas yang hampir rampung ternyata hanya bisa menjadi angan. Saya masih harus ’stay’ dikantor sampai waktu pulang tiba.

Gelisah.
Satu hari kemudian, Papa masih dirawat. Dan saya memutuskan untuk izin tidak masuk kerja. Saat itu masih pagi sekali, saya dan kakak perempuan saya segera bergegas pergi ke RS. Dan ternyata, Papa sudah diboyong ke Ruang ICU!!! Rasa menyesal yang teramat sangat, kesalahan saya ini tidak pernah bisa diampuni! Saya terlambat. Papa sudah tidak kuat lagi menahan rasa sakitnya seorang diri.
Walau sudah ada Dokter ahli yang menangani, namun Kuasa Allah tidak ada yang bisa menandingi. Kami sekeluarga sudah berkumpul di samping Papa yang terbaring lemah, alat pacu jantung sudah ditempelkan. Kabel-kabel terurai didadanya. Sekitar 1 jam berlalu...Papa belum sadarkan diri juga. Dan entah siapa dia, laki-laki dengan baju koko dan peci  muncul mengelilingi kami , dia meminta kami untuk tabah dan ikhlas. Kami pun ikhlas, kami bisikkan  semangat dan doa untuk Papa. Namun ternyata Allah berkehendak lain. Allah memanggil Papa untuk selamanya karena gagal jantung.

Setengah sadar.
Beberapa jam setelah kepergiannya, saya sepertinya masih setengah sadar. Rumah sudah penuh dengan saudara dan kerabat yang turut melayat dan mengantarkan Papa ke istana terakhirnya.  Air mata juga seakan sudah kering dan mata terasa perih. Alhamdulillah, pemakaman Papa berjalan lancar tanpa kendala apapun. Banyak saudara yang membantu. Terima kasih yang tak sempat terucap :)

Hadir lewat Mimpi.
Tanpa terasa, 3 tahun sudah berlalu. Namun memori itu tidak pernah terhapus dari diri saya. Bahkan terkadang kehadiran Papa masih terasa. Seperti yang saya alami beberapa hari lalu, sebelum memasuki bulan Maret, Papa hadir melalui mimpi. Dalam alam bawah sadar, saya masih  mampu mengingat mimpi tsb. Dimana Papa datang dan saya langsung berlari memeluknya (keadaan yang jarang terjadi ketika Papa masih ada) erat dan menangis dilututnya persis seperti orang sungkeman!! Err, apa maksud dari mimpi itu ya? Entahlah.
Semoga keadaan Papa disana sudah lebih bahagia dari kami yang masih bergelut di dunia ini.
Semoga harapan-harapan Papa yang belum bisa diwujudkan semasa hidup, bisa tercapai di alam sana. Semoga kesalahan-kesalahannya diampuni. Dan mendapatkan tempat terbaik di sisi Allah SWT. 
Amin ya robbal alamin :)

Harta terakhir.
Kini, harta terakhir yang masih saya miliki tinggal Mama seorang. Akhir-akhir ini Mamapun mulai sering sakit-sakitan, dan suka bicara yang aneh-aneh yang akhirnya membuat saya takut kehilangan (lagi). Kakak-kakak saya sudah berkeluarga dan sudah menjalani kehidupan mereka masing-masing. Nasib jadi anak bontot -pikir saya- :(

Alhamdulillah sampai detik ini, saya masih menjalani hari-hari bersama Mama. Entah apa jadinya diri saya ini tanpa Mama. Tanpa Papa saya masih bisa survive, entah jika tanpa Mama. 

I love you. . .
I do even if I never say so. . .



Wednesday, March 7, 2012

3 tahun mengenang . . .

Tanggal 3, bulan 3, 3 tahun yang lalu...
Ketika semua rasa di hati ini hancur berkeping-keping. Putus cinta? Bukan, ternyata putus cinta tidaklah lebih menyakitkan daripada harus merelakan Papa menghadap Allah SWT lebih dulu. Dan tidak akan pernah kembali.
Tepat bulan ini, 3 tahun yang lalu. Memori itu tidak akan lekang dari ingatan saya. Ketika satu hari sebelum kepergiannya, kondisi kesehatan Papa memang sudah mulai ’Drop’ (bahkan sejak beberapa bulan sebelumnya), tapi pada saat itu saya masih harus berjuang untuk bekerja demi mengubah status ’karyawan kontrak’ pada perjanjian kerja saya 2 tahun sebelumnya. Sehingga saya masih belum bisa ’cuti’ dan menemani Mama menjaga Papa. Saat itu saya berada di depan para peserta psikotest untuk calon Legal Manager , dimana para peserta tsb tidaklah lebih muda dari saya –baik dari segi usia maupun pengalaman- dan persis dikursi paling belakang duduklah bos besar saya untuk menilai kinerja saya saat itu. Campur aduk!!!itulah yang saya rasakan. Pikiran saya tidak fokus, antara pekerjaan dan rumah. Dan benar saja, ditengah jalannya test, Mama menelepon, dan mengabarkan bahwa Papa harus dirawat di RS karena sudah sulit bernafas. Keinginan untuk pulang dan meninggalkan semua tugas yang hampir rampung ternyata hanya bisa menjadi angan. Saya masih harus ’stay’ dikantor sampai waktu pulang tiba.

Gelisah.
Satu hari kemudian, Papa masih dirawat. Dan saya memutuskan untuk izin tidak masuk kerja. Saat itu masih pagi sekali, saya dan kakak perempuan saya segera bergegas pergi ke RS. Dan ternyata, Papa sudah diboyong ke Ruang ICU!!! Rasa menyesal yang teramat sangat, kesalahan saya ini tidak pernah bisa diampuni! Saya terlambat. Papa sudah tidak kuat lagi menahan rasa sakitnya seorang diri.
Walau sudah ada Dokter ahli yang menangani, namun Kuasa Allah tidak ada yang bisa menandingi. Kami sekeluarga sudah berkumpul di samping Papa yang terbaring lemah, alat pacu jantung sudah ditempelkan. Kabel-kabel terurai didadanya. Sekitar 1 jam berlalu...Papa belum sadarkan diri juga. Dan entah siapa dia, laki-laki dengan baju koko dan peci  muncul mengelilingi kami , dia meminta kami untuk tabah dan ikhlas. Kami pun ikhlas, kami bisikkan  semangat dan doa untuk Papa. Namun ternyata Allah berkehendak lain. Allah memanggil Papa untuk selamanya karena gagal jantung.

Setengah sadar.
Beberapa jam setelah kepergiannya, saya sepertinya masih setengah sadar. Rumah sudah penuh dengan saudara dan kerabat yang turut melayat dan mengantarkan Papa ke istana terakhirnya.  Air mata juga seakan sudah kering dan mata terasa perih. Alhamdulillah, pemakaman Papa berjalan lancar tanpa kendala apapun. Banyak saudara yang membantu. Terima kasih yang tak sempat terucap :)

Hadir lewat Mimpi.
Tanpa terasa, 3 tahun sudah berlalu. Namun memori itu tidak pernah terhapus dari diri saya. Bahkan terkadang kehadiran Papa masih terasa. Seperti yang saya alami beberapa hari lalu, sebelum memasuki bulan Maret, Papa hadir melalui mimpi. Dalam alam bawah sadar, saya masih  mampu mengingat mimpi tsb. Dimana Papa datang dan saya langsung berlari memeluknya (keadaan yang jarang terjadi ketika Papa masih ada) erat dan menangis dilututnya persis seperti orang sungkeman!! Err, apa maksud dari mimpi itu ya? Entahlah.
Semoga keadaan Papa disana sudah lebih bahagia dari kami yang masih bergelut di dunia ini.
Semoga harapan-harapan Papa yang belum bisa diwujudkan semasa hidup, bisa tercapai di alam sana. Semoga kesalahan-kesalahannya diampuni. Dan mendapatkan tempat terbaik di sisi Allah SWT. 
Amin ya robbal alamin :)

Harta terakhir.
Kini, harta terakhir yang masih saya miliki tinggal Mama seorang. Akhir-akhir ini Mamapun mulai sering sakit-sakitan, dan suka bicara yang aneh-aneh yang akhirnya membuat saya takut kehilangan (lagi). Kakak-kakak saya sudah berkeluarga dan sudah menjalani kehidupan mereka masing-masing. Nasib jadi anak bontot -pikir saya- :(

Alhamdulillah sampai detik ini, saya masih menjalani hari-hari bersama Mama. Entah apa jadinya diri saya ini tanpa Mama. Tanpa Papa saya masih bisa survive, entah jika tanpa Mama. 

I love you. . .
I do even if I never say so. . .