Ketika semua rasa di
hati ini hancur berkeping-keping. Putus cinta? Bukan, ternyata putus cinta
tidaklah lebih menyakitkan daripada harus merelakan
Papa menghadap Allah SWT lebih dulu. Dan tidak akan pernah kembali.
Tepat bulan ini, 3
tahun yang lalu. Memori itu tidak akan lekang dari ingatan saya. Ketika satu
hari sebelum kepergiannya, kondisi kesehatan Papa memang sudah mulai ’Drop’
(bahkan sejak beberapa bulan sebelumnya), tapi pada saat itu saya masih harus
berjuang untuk bekerja demi mengubah status ’karyawan kontrak’ pada perjanjian
kerja saya 2 tahun sebelumnya. Sehingga saya masih belum bisa ’cuti’ dan
menemani Mama menjaga Papa. Saat itu saya berada di depan para peserta
psikotest untuk calon Legal Manager , dimana para peserta tsb tidaklah lebih
muda dari saya –baik dari segi usia maupun pengalaman- dan persis dikursi
paling belakang duduklah bos besar saya untuk menilai kinerja saya saat itu.
Campur aduk!!!itulah yang saya rasakan. Pikiran saya tidak fokus, antara
pekerjaan dan rumah. Dan benar saja, ditengah jalannya test, Mama menelepon,
dan mengabarkan bahwa Papa harus dirawat di RS karena sudah sulit bernafas.
Keinginan untuk pulang dan meninggalkan semua tugas yang hampir rampung
ternyata hanya bisa menjadi angan. Saya masih harus ’stay’ dikantor sampai
waktu pulang tiba.
Gelisah.
Satu hari kemudian,
Papa masih dirawat. Dan saya memutuskan untuk izin tidak masuk kerja. Saat itu
masih pagi sekali, saya dan kakak perempuan saya segera bergegas pergi ke RS.
Dan ternyata, Papa sudah diboyong ke Ruang ICU!!! Rasa menyesal yang teramat
sangat, kesalahan saya ini tidak pernah bisa diampuni! Saya terlambat. Papa sudah tidak kuat lagi menahan rasa sakitnya seorang diri.
Walau sudah ada Dokter
ahli yang menangani, namun Kuasa Allah tidak ada yang bisa menandingi. Kami
sekeluarga sudah berkumpul di samping Papa yang terbaring lemah, alat pacu
jantung sudah ditempelkan. Kabel-kabel terurai didadanya. Sekitar 1 jam
berlalu...Papa belum sadarkan diri juga. Dan entah siapa dia, laki-laki dengan
baju koko dan peci muncul mengelilingi kami , dia meminta kami untuk
tabah dan ikhlas. Kami pun ikhlas, kami bisikkan semangat dan doa untuk Papa. Namun ternyata Allah
berkehendak lain. Allah memanggil Papa untuk selamanya karena gagal jantung.
Setengah sadar.
Beberapa jam setelah
kepergiannya, saya sepertinya masih setengah sadar. Rumah sudah penuh dengan
saudara dan kerabat yang turut melayat dan mengantarkan Papa ke istana
terakhirnya. Air mata juga seakan sudah
kering dan mata terasa perih. Alhamdulillah, pemakaman Papa berjalan lancar
tanpa kendala apapun. Banyak saudara yang membantu. Terima kasih yang tak sempat terucap :)
Hadir lewat Mimpi.
Tanpa terasa, 3 tahun
sudah berlalu. Namun memori itu tidak pernah terhapus dari diri saya. Bahkan
terkadang kehadiran Papa masih terasa. Seperti yang saya alami beberapa hari
lalu, sebelum memasuki bulan Maret, Papa hadir melalui mimpi. Dalam alam bawah
sadar, saya masih mampu mengingat mimpi
tsb. Dimana Papa datang dan saya langsung berlari memeluknya (keadaan yang
jarang terjadi ketika Papa masih ada) erat dan menangis dilututnya persis seperti orang
sungkeman!! Err, apa maksud dari mimpi itu ya? Entahlah.
Semoga keadaan Papa
disana sudah lebih bahagia dari kami yang masih bergelut di dunia ini.
Semoga harapan-harapan
Papa yang belum bisa diwujudkan semasa hidup, bisa tercapai di alam sana. Semoga
kesalahan-kesalahannya diampuni. Dan mendapatkan tempat terbaik di sisi Allah
SWT.
Amin ya robbal alamin :)
Harta terakhir.
Kini, harta terakhir
yang masih saya miliki tinggal Mama seorang. Akhir-akhir ini Mamapun mulai
sering sakit-sakitan, dan suka bicara yang aneh-aneh yang akhirnya membuat saya
takut kehilangan (lagi). Kakak-kakak saya sudah berkeluarga dan sudah menjalani
kehidupan mereka masing-masing. Nasib jadi anak bontot -pikir saya- :(
Alhamdulillah sampai
detik ini, saya masih menjalani hari-hari bersama Mama. Entah apa jadinya diri
saya ini tanpa Mama. Tanpa Papa saya masih bisa survive, entah jika tanpa Mama.
I do even if I never say so. . .